Selasa, 06 Mei 2008

Warung Kopi

“Kopinya satu Mbak!”

Malam ini warung kopi simpang jalan cukup ramai. Mungkin karena malam minggu. Selain itu memang warung kopi ini terkenal dengan para pelayanya yang semok dan berdada montok. Dan aku kesini pun karena itu.

Ada sesuatu yang menarik perhatianku, sejak tadi aku memperhatikan seorang wanita paruh baya, duduk sendiri mengenakan baju berwarna merah menyala.

“Dia buta Mas.” Kata pelayan sambil mengantarkan kopi

“Buta? Lalu apa yang dia lakukan di sini?” tanyaku penasaran.

“Mas cukup memberikanya roti bakar atau uang sekedarnya, maka Mas bisa menikmati permainannya.”

“Maksudmu, si Tua buta itu lonte ?”

"Dia cuma butuh uang untuk makan!”

Minggu, 04 Mei 2008

Lapar

Saya kembali meringkuk di kasur yang lapuk itu. Keras, karena kapuknya sudah mati. “Tuhan, sayangkan sama saya? Kirimilah saya makanan.” saya pun mencoba tidur, kata Ayah dengan tidur rasa lapar bisa berkurang. Tapi bagaimana saya bisa tidur dengan perut yang sakit seperti ini.

“Neh, makan!” Ayah melemparkan sepotong roti kepada saya.

“Kok hanya roti Yah? Ini tidak akan membuat perutku kenyang.”

“Anak gak tau diri. Sudah ku bilang Ibumu belum pulang.”

“Kalau ibu belum juga pulang, lalu kenapa bukan Ayah saja yang melonte untuk makan kita hari ini.”

“Hah …Apa kau bilang ?!!” Satu tamparan keras mendarat di pipi saya.

Lajang

Saya pria lajang berusia 27 tahun. Saya bekerja sebagai penjual mainan. Sampai detik ini saya belum juga mempunyai istri, apalagi kekasih. Banyak teman yang bilang, kalau saya ini banci. Tapi di sini saya ingin menegaskan, kalau saya ini bukan banci. Saya hanya kurang tertarik saja dengan yang namanya wanita. Bagi saya mereka biasa saja.

Saya pecinta anak-anak, makanya saya lebih memilih berjualan mainan yang sangat digemari anak-anak. Khususnya anak laki-laki.

Dan karena kecintaan saya pada anak-anak, saat ini saya berada di dalam ruang sumpek ini, katanya saya di jerat pasal 81 subsider 82 UU No.23 tahun 2002. Tentang perlindungan anak.

Susu Saya

Saya seorang janda beranak satu. Anak saya masih berumur satu tahun. Sebagai seorang janda saya harus menjadi wanita mandiri, untuk itu saya bekerja sebagai tukang cuci di rumahnya Pak Rudi.

“Mama ... mama ...” tengah malam anak saya terbangun, “nenen Ma,” oh … rupanya dia haus.

“Iya sayang,” dengan agak malas saya naikan baju saya hingga sebatas dada, lalu saya mengeluarkan susu saya. Mata saya mulai terpejam lagi, sementara anak saya mulai menyusu. Namun tiba-tiba anak saya berhenti menyusu.

“Kenapa sayang? Kok udah nenennya?” tanya saya penasaran, biasanya anak saya kuat sekali menyusunya.

“Engga ... nenennya ndak enak, bau rokok.”

Abang Supir Angkot

Abang supir angkot ngebut-ngebut, bikin saya jadi takut. “Kejar setoran, buat ngelamar Eneng.” Lalu Abang supir angkot menggaruk-garuk kepalanya. Dasar supir angkot jorok, ketombenya berterbangan.

Segerombolan orang menyetop angkot si Abang. “Duit nih. Alhamdulillah.”

“Ayo ... empat enam, geser biar muat!” Abang supir angkot teriak-teriak seperti seorang komandan yang sedang mengatur barisan.Penumpang belakang padat merapat.

“Bang, kan depan masih muat satu,” kata saya.

“Jangan. biarin aja jangan di isi.”Abang supir angkot tersenyum genit.

“Biar Abang bisa berduaan sama saya?” saya pun tersipu malu.

“Bini Abang ada di ujung jalan sana. Nanti kamu geser dikit ya.”

“Apa ? Bini ?!!”

Ojek

“Ojek dong!ke jalan Rawa.” wanita itu mengahampiri saya, rambutnya panjang, kulitnya putih, roknya super mini. Seksi.

“Ok.” Saya segera menyalakan motor kesayangan saya. Si Mbak yang bernama Reni, tersenyum manis kepada saya.

Dengan perlahan dan hati-hati saya mulai tancap gas. Dengan santainya si Mbak mendekap pinggang saya dengan erat. Dan saya sangat menikmatinya

Sepanjang perjalanan si Mbak terus bercerita, suaranya yang seksi membuat saya merinding.

“Sudah sampai Mbak” saya tersenyum sambil menengok kearahnya.

“Iya, makasih ya” kecupan liar dan kilat mendarat di bibir saya.

“Iya Mbak, ongkosnya?”

“Ongkos ? Kan sudah saya peluk, saya pegang, saya cium juga malah.

EYD

“Sudah belajar Bahasa Indonesia?” tanya temanku Rama.

“Belum” Jawabku datar.

Aku memang selalu mengaggap enteng mata pelajaran itu.

“Kecil .... gak perlu belajar klo cuma ulangan Bahasa.”

****

Entah kerasukan Jin apa, saat ini aku suka sekali belajar membuat cerita. Padahal sejak sekolah, aku paling males jika harus membuat karangan di pelajaran Bahasa Indonesia.

“Haduuhh ... lo tuh ye berapa sih nilai Bahasa Indonesia lo di rapot. Coba liat ini http://kemudian.com/user/ananda ! Semua cerita lo itu EYDnya ancur banget!” kata salah satu temanku

“Masa sih? Ya .. maklum deh, setiap pelajaran Bahasa Indonesia, gue sibuk memandangi guru Bahasa gue, cute abis seh.”